IntentChat Logo
Blog
← Back to Bahasa Indonesia Blog
Language: Bahasa Indonesia

Mengapa Bahasa 'Sempurna' Buatan Manusia Akhirnya Takluk pada Bunga Liar?

2025-08-13

Mengapa Bahasa 'Sempurna' Buatan Manusia Akhirnya Takluk pada Bunga Liar?

Pernahkah Anda merasa bahwa belajar bahasa asing itu sangat sulit?

Kosakata yang tak ada habisnya untuk dihafal, tata bahasa yang sulit dipahami, dan berbagai pengucapan yang aneh. Kita bersusah payah, hanya demi dapat berkomunikasi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melihat dunia yang lebih luas.

Pada saat seperti ini, sebuah pemikiran mungkin terlintas di benak Anda: alangkah indahnya jika ada satu bahasa universal di dunia yang super mudah, logikanya sempurna, dan semua orang bisa langsung kuasai begitu mempelajarinya?

Jangan salah, lebih dari seratus tahun yang lalu, memang ada orang yang mewujudkan ide ini menjadi kenyataan. Bahasa itu bernama "Esperanto".

Penciptanya adalah seorang dokter Polandia yang menyaksikan berbagai konflik yang timbul karena kesalahpahaman di antara orang-orang dari bahasa yang berbeda. Oleh karena itu, ia ingin menciptakan sebuah bahasa yang netral dan mudah dipelajari, untuk menghilangkan penghalang dan menghubungkan dunia.

Ide ini terdengar benar-benar sempurna. Aturan tata bahasa Esperanto konon bisa dipelajari dalam satu sore, dan kosakatanya sebagian besar berasal dari bahasa-bahasa Eropa, sehingga sangat ramah bagi banyak orang.

Namun, lebih dari satu abad telah berlalu, “solusi sempurna” ini justru hampir tidak diminati, menjadi hobi minoritas di kalangan pecinta bahasa.

Mengapa?

Jawabannya sederhana: Karena ini seperti sekuntum bunga plastik yang dirancang dengan cermat.


Sempurna, tapi Tak Beraroma

Bayangkan sekuntum bunga plastik. Warnanya cerah, bentuknya sempurna, tidak pernah layu, dan tidak perlu disiram atau dipupuk. Dari sudut pandang mana pun, bunga itu memenuhi definisi “bunga”, bahkan lebih “standar” daripada bunga sungguhan.

Tapi Anda tidak akan pernah mencintainya.

Karena bunga itu tidak memiliki kehidupan, tidak memiliki jiwa. Tidak ada cerita tentang akarnya yang tumbuh kokoh di tanah meski diterpa angin dan hujan, apalagi aroma unik yang bisa menarik lebah dan kupu-kupu.

Esperanto adalah bunga plastik di dunia bahasa ini. Tata bahasanya teratur, logikanya jelas, dan menyingkirkan semua kerumitan “ketidakteraturan”. Namun bahasa, tidak pernah hanya sekadar alat pertukaran informasi yang dingin.

Vitalitas sejati bahasa terletak pada “aroma” uniknya—yaitu budaya.

Mengapa kita harus mempelajari bahasa baru?

Kita belajar bahasa Inggris bukan hanya untuk memahami manual penggunaan, tetapi lebih karena ingin memahami lirik lagu bahasa Inggris favorit, menonton film blockbuster Hollywood terbaru, dan memahami humor serta cara berpikirnya.

Kita belajar bahasa Jepang karena ingin merasakan langsung festival musim panas di anime, memahami rasa kesepian dalam tulisan Haruki Murakami, dan merasakan semangat 'takumi' (jiwa pengrajin) dalam budaya Jepang.

Kata-kata seperti “jianghu” (dunia persilatan/sosial yang luas dan kompleks), “yuanfen” (takdir pertemuan/koneksi yang telah ditentukan), “yanhuoqi” (atmosfer kehidupan sehari-hari/semangat hidup) dalam bahasa Mandarin, serta “Cozy” dan “Mindfulness” dalam bahasa Inggris—di balik kosakata ini, terendap ribuan tahun sejarah, mitos, kebiasaan, dan cara hidup.

Inilah daya tarik sejati bahasa, “aroma” yang menarik kita untuk mempelajarinya meskipun harus melewati banyak kesulitan.

Sementara Esperanto, “bunga sempurna” yang lahir di laboratorium ini, justru tidak memiliki semua itu. Ia tidak membawa memori kolektif sebuah bangsa, tidak ada sastra, musik, dan film yang hidup bersamanya, apalagi lelucon atau slang yang beredar di jalanan.

Ini sangat sempurna, tapi tidak memiliki cita rasa. Orang tidak akan tergila-gila pada sebuah alat, tapi akan terpesona oleh sebuah budaya.


Yang Kita Butuhkan Bukanlah Keseragaman, melainkan Koneksi

Jadi, apakah impian “saling terhubungnya dunia” itu salah?

Tidak, impian itu tidak salah, hanya saja cara mewujudkannya perlu ditingkatkan.

Yang kita butuhkan bukanlah mengganti “bunga liar” yang beraneka ragam warna dan bentuk di seluruh dunia dengan satu “bunga plastik”, melainkan membangun jembatan yang dapat menghubungkan semua taman. Kita tidak seharusnya demi kemudahan berkomunikasi, mengorbankan budaya dan sejarah unik di balik setiap bahasa.

Dulu, ini mungkin tampak tidak terjangkau. Namun hari ini, teknologi sedang mewujudkan impian ini dengan cara yang lebih indah.

Alat seperti Lingogram adalah contoh yang sangat baik. Ini adalah aplikasi obrolan dengan terjemahan AI bawaan, yang memungkinkan Anda menggunakan bahasa ibu Anda untuk berkomunikasi secara bebas dengan siapa pun di penjuru dunia.

Ketika Anda mengucapkan “yanhuoqi” dalam bahasa Mandarin, pihak lain akan langsung melihat terjemahan dan penjelasan yang paling sesuai. Anda tidak perlu menjadi ahli bahasa terlebih dahulu untuk dapat langsung merasakan keaslian budaya orang lain.

Ini tidak menghapus “aroma” unik setiap bahasa, justru memungkinkan Anda mencium keharuman bunga lain dengan lebih langsung dan mudah.

Ini mungkin adalah cara yang lebih baik untuk menghubungkan dunia: bukan menghilangkan perbedaan, melainkan merangkul dan memahami setiap perbedaan.

Bagaimanapun juga, komunikasi sejati dimulai ketika kita bersedia menghargai perbedaan masing-masing.